Sabtu, 24 Agustus 2013

Urip


WEJANGAN URI P
Labeting kartiyasa punika
Awit saking pambudayaning
gita dursila
Rinuwat kanthi mrihatini
adrenging karsa
Ngubara lan ngumbara miyat
dumununging kamitran.
Amangsuli prahara bebendu
ageng
Tan ginayuh hastaning mamilat
brata
Wosing rasa kang ginubel
graito
Graitaning karsa,
dumununging cipta.
Tan ana angkara
Tan ana rubeda
Tan ana dursila
Tan ana tandang duraka.
Jejer anyar
Gagrak anyar
Titah anyar
Jagad anyar
Sarwa gumebyar
Tan ana kang samar
Tansah suminar
Magilar-magilar
Anggelar tulusing nalar.
Budi pinilih, luhur angarih-
arih
Masa wurunga karsaning Jati
Hangesti drajading titah
Hawya miruda kang kinarsa
ing Allah
Kabeh saka telenging jangkah
Kabeh awit gumelaring
pratingkah
Kabeh ngemu tulusing ibadah.
Ngaminana marang donga
kang pinuji
Kunjuk Ing Ngarsaning Maha
Ji
Humangkara
Humangrasa
Hamungwat trikarsa
Hamungwing baskara
Hamungwing jumantara.
Ngadep Rabbul Ngalamin
Welasing Gusti
Ingkang Maha Sih.
Muliha, muliha, muliha
Muliha mring pancardriya
Balia mring panaraga.
Mawanti-wanti, angati-ati
Aja kongsi keri nunggang
jung baitagung,
Kang dinayung malaikat
hambaruyung
Dipandhegani dening para
nabi
Sinangga mring para wali.
Kinebakan jamna utami
Mulyaning manusa jati
Kang pinilih dening Gusti
Kapilah saking ngalamipun
Awit driyanira mung nyawiji,
Kabeh kagungane Allah.
Mula aja noleh
Mula kudu mantheng
Katuta baitagung
Nyuwuna palilahe Hyang Agung
Awit kuwi Kagunganipun.
Aja ninggal trapsila
Aja nggugu kersaning pribadi
Aja dumeh wus katam kitabe
Najan wus apal dongane
Najan wus guntur sujude
Ning durung kaparingan
ridhaning Allah.
Mula dudu rapale, ning atine
Mula dudu wujude, ning lire
Mula dudu jlegere, ning
makripate.
Poma, sindukara karaning
ronsih
Sawunging swara sawang
suwung
Gebyaring gebyur gambyong
grambyangan
Rinakit, rinasa, rapita,
retyakaning radya.
Jung, jung baitagung
Wus tinata ambaruyung
Lir grimis handaridis
Re-rep pantiarsaning resep
Pindha tilasing atilas tulus.
Tlusurana sing tlaten
Anggita gitaning suksma
Andungkap sunaring padhang
Njingglang ngawang-awang.
Hamung sawiji kang kinanthi
Wahyuning Hyang Widhi,
Kang pinuji-puji.
Wus pupus barang kalire.

Selasa, 13 Agustus 2013

Tanya jawab


MEMBEDAH ALAM FIKIRAN
SITI JENAR
TANYA JAWAB DENGAN SYEH SITI
JENAR
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal
sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu
ajaran yang menekankan aspek
kejiwaan dari pada aspek lahiriah
yang kasat mata. Intinya ialah konsep
tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran
Siti Jenar ialah tercapainya
manunggaling kawula-Gusti . Yaitu
bersatunya antara roh manusia
dengan Dzat Allah. Paham inilah yang
hampir sama dengan ajaran para
zuhud, wali dan orang-orang khowash.
Zuhud banyak dijumpai dalam dunia
tasawuf. Mereka merupakan orang-
orang atau kelompok yang menjauhkan
diri dari kemewahan dan kesenangan
duniawi. Sebab mereka mempunyai
tujuan hidup yang lebih utama, yakni
ingin mencapai kesucian jiwa atau
roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah
pencapaian spiritualitas yang tinggi
dalam penyatuan antara makhluk
dengan Dzat Pencipta, yang lebih
populer disebut sebagai manunggaling
kawula-Gusti . Bagian-bagian dari
ajaran itu adalah meliputi penguasaan
hidup, pengetahuan tentang pintu
kehidupan, tentang kematian, tempat
kelak sesudah ajal, hidup kekal tak
berakhir, dan tentang kedudukan Yang
Mahaluhur. Paham yang hampir
senada dengan falsafah Jawa kuno.
Suatu ketika Syeh Siti Jenar
mengajarkan ilmu kepada para murid-
muridnya. Syeh Siti Jenar
berkata,” Manusia harus berpegang
pada akal, meyakini pula dua puluh
sifat yang dimiliki Allah”. Antara lain
yakni; wujud, tak berawal, tak
berakhir, berlainan dengan barang
baru, berkuasa, berkehendak,
berpengetahuan, memiliki ilmu secara
hakikat dan sebagainya. Para santri
mengajukan pertanyaan- pertanyaan
sebagai berikut;
Tentang Ketuhanan
M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu
dapat dimiliki oleh
manusia ?”
S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud itu
bisa dimiliki manusia
dan itulah inti dari
ajaran ini. Selama
manusia mampu
menjernihkan
kalbunya, maka ia
akan mempunyai
sifat-sifat itu. Sifat
tersebut pun sudah
kumiliki. Kalian bisa
melakukannya dengan
mengamalkan apa
yang hendak
kuajarkan. Allah
adalah satu-satunya
yang wajib disembah.
Dia tidak tampak dan
tidak berbentuk. Tidak
terlihat oleh mata.
Sedangkan alam dan
segala isinya
merupakan cerminan
dari wujud Allah yang
tampak. Seseorang
bisa meyakini adanya
Allah karena ia
melihat pancaran
wujudNya melalui
jagad raya ini. Allah
tidak berawal dan
berakhir, memiliki
sifat langgeng, tak
mengalami perubahan
sedikitpun. Allah
berada di mana-mana,
bukan ini dan bukan
itu. Dia berbeda
dengan segala wujud
barang baru yang ada
di dunia.
M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan
kepada kami tentang
hakikat kodrat !”
S ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi
Tuhan. Tak ada yang
menyamainya.
KekuatanNya tanpa
sarana. kehadiranNya
berasal dari ketiadaan,
luar dan dalam tiada
berbeda. Tak dapat
ditafsirkan. Jika
engkau menghendaki
sesuatu maka pasti
kalian rencanakan
matang-matang dan
pasti pikirkan
berulang-ulang.
Itupun masih sering
meleset. Namun Allah
tidak demikian, bila
menghendaki sesuatu
tak perlu dipersoalkan
terlebih dahulu.
M ; Kalau begitu Allah tidak
memerlukan sesuatu ?
S ; Benar Allah tidak memerlukan
sesuatu. Karena itu
jika kalian hidup tanpa
memerlukan sesuatu,
tanpa butuh harta
benda, tanpa butuh
jabatan, tanpa butuh
pujian, maka kalian
akan merasakan hidup
yang sesungguhnya.
Kalian akan memiliki
sifat Allah tersebut.
M ; Kalau manusia menghindari
sesuatu dan merasa
tidak memerlukan
apapun, apakah
akhirnya dapat
disamakan dengan
Allah ?
S ; Tidak ! walaupun manusia hidup
tanpa bergantung
sama sekali kepada
duniawi, namun ia
tetap berbeda dengan
Allah. Tidak bisa
disamakan dengan
Tuhan. Allah adalah
pencipta dan kalian
adalah yang
diciptakan. Allah
berdiri sendiri, tanpa
memerlukan bantuan.
Hidupnya tanpa roh,
tidak merasa sakit
dan kesedihan, Allah
muncul
sekehendaknya.
M ; Jika Allah berkehendak, maka
apakah kehendak
seseorang itu karena
kemauan Allah ?
S ; Untuk sampai pada jawaban itu,
kita harus
membedakan
seseorang mana.
Manusia itu dibedakan
menjadi beberapa
tingkatan. Ada yang
awam, ada yang
khowash. Orang awam
hanya beribadah
secara syariat, tanpa
dapat memelihara
kalbu, maka ia masih
jauh bisa berhubungan
dengan Allah.
Sedangkan orang-
orang khowash,
termasuk para nabi,
rasul, dan waliyullah,
mereka beribadah
secara utuh. Bahkan
sampai pula pada
tingkatan hakikat.
Kalau kalbunya sudah
bersih dari duniawi
dan menyatu dengan
cahaya Ilahi, maka
kehendak dan
kemauannya itu
berasal dari Allah.
Perbuatannya adalah
perbuatan Allah. Maka
jangan heran jika ada
orang yang diberi
karomah sehingga
segala ucapannya
menjadi bertuah.
M ; Kalau begitu, ibadahnya orang
yang sudah khowash
itu merupakan
kehendak Allah ?
S ; Benar ! mereka mempunyai
kejernihan akal budi.
Memiliki kebersihan
jiwa dan ilmu. Shalat
lima waktu dan
berzikir merupakan
kehendak yang sangat
dalam. Bukan
kehendak nafsunya,
namun kehendak
Allah. Semangatnya
sedemikian besar.
Mereka shalat tidak
mengharapkan pahala,
tetapi merupakan
suatu kewajiban (diri)
dan pengabdian.
Badan haluslah yang
mendorong untuk
menjalankan.
M ; Banyak orang melakukan shalat
tetapi tidak
menyentuh kepada
Yang Disembah. Ini
bagaimana ?
S ; Memang banyak orang yang
secara lahiriah
tampak khusuk
shalatnya. Bibirnya
sibuk mengucapkan
zikir dan doa-doa,
namun hatinya ramai
oleh urusan duniawi
mereka. Islam yang
demikian ini ibarat
kelapa, mereka hanya
makan serabutnya.
Padahal yang paling
nikmat adalah buah/
daging kelapa dan air
kelapanya. Mereka
sembahyang lima
waktu sebatas lahiriah
saja. Tidak
berpengaruh sama
sekali kepada akal
budinya. Padahal
sembahyang itu
diharapkan dapat
mencegah keji dan
munkar namun mereka
tak mampu
melakukannya dalam
kehidupan sehari-
hari. Kalaupun hakikat
shalatnya itu
membekas pada
budinya itupun hanya
sedikit. Buat apa
sembahyang lima kali
jika perangainya
buruk ? masih suka
mencuri dan
berbohong. Untuk apa
bibir lelah berzikir
menyebut asma Allah,
jika masih berwatak
suka mengingkari
asma. Kadang-kadang
pula mereka berharap
pahala. Shalatnya saja
belum tentu dihargai
oleh Allah, tetapi
buru-buru meminta
balasan,…..aneh!
M ; Wahai Syeh, ada hadits
Rasulullah yang
menyebutkan bahwa
amal hamba yang
pertama kali
diperhitungkan adalah
sembahyang. Jika
sembahyangnya baik,
maka semua dianggap
baik. Ini bagaimana ?
S ; Itu perlu ditafsirkan. Tidak boleh
dipahami secara
dangkal makna dari
hadits tersebut. Hadits
itu mengandung logika
sebagai berikut; Orang
yang tekun
mengerjakan
sembahyang dengan
sempurna, maka
perilaku, budi pekerti
dan kalbunya juga
harus terpengaruh
menjadi baik. Sebab
sembahyang yang
dilakukan dengan jiwa
yang bersih akan
berpengaruh pula bagi
cabang kehidupan
lainnya. Lebih lanjut
Syeh Siti Jenar
mengatakan;
sebaliknya hadits itu
tidak berlaku bagi
orang yang tekun
mengerjakan
sembahyang tetapi
hatinya masih kotor,
tersimpan keinginan-
keinginan nafsu
misalnya ingin dipuji
orang lain, terdapat
ujub dan sombong,
serta budinya
menyimpang dan
menabrak tatanan
yang dilarang.
M ; Apakah ada tuntunan mengenai
pakaian seseorang
yang sedang
melakukan
sembahyang ?
S ; Sesungguhnya aku (Syeh Siti
Jenar) tidak
sependapat jika ada
orang yang
mengenakan pakaian
gamis dan meniru-
niru pakaian orang
Arab dalam
melakukan shalat.
Jika selesai shalat,
jubah atau gamis itu
dilepaskan.
Sedangkan shalat
orang tersebut
tidaklah menyentuh
hatinya. Meskipun
berlama-lama
merunduk di masjid,
namun masih
mencintai duniawi.
Sembahyang yang
pakaiannya
kedombrangan,
merunduk di masjid
berlama-lama sampai
lupa anak istri.
Sedangkan ia masih
menyintai duniawi dan
mengumbar nafsu
manusiawinya.
Bahkan dalam
kehidupan sehari-hari,
ia seringkali
menyusahkan orang
lain. Maka orang yang
demikian itu tidak
terpengaruh oleh
sembahyang yang
dilakukan. Biasanya
tipe orang seperti itu
sibuk menghitung
pahala. Dia sangat
keliru dan bodoh.
Pahala yang masih
jauh tetapi
diperhitungkan.
Sungguh, sedikit pun
tak akan dapat
dicapainya.
M ; Dzat Yang Luhur dan Sejati itu
sesungguhnya siapa,
wahai Syekh ?
S ; Gusti Allah. Gusti Allah adalah
Dzat yang tinggi dan
terhormat. Ia memiliki
dua puluh sifat, semua
timbul atas
kehendakNya. Ia
mampu mencurahkan
ilmu kebesaran,
kasampurnan,
kebaikan, keramahan,
kekebalan dalam
segala bentuk,
memerintah umat.
Dapat muncul di
segala tempat dan
sakti sekali. Aku
(Syekh Siti Jenar)
merasa wajib dan
menuruti
kehendakNya.
Sebagaimana ajaran
jabariyah, dengan
kesungguhan dan
konsekuen, selalu
kuat cita-citanya,
kokoh tak tergoyahkan
terhadap sesuatu yang
tidak suci, berpegang
teguh kepadaNya
selama hidup, tak
akan menyembah
terhadap ciptaanNya,
baik dalam wujud
maupun dalam
pengertian.
M ; Mengapa Kanjeng Syekh
dianggap oleh para
wali sebagai wali
murtad ?
S ; Karena ajaranku tidak mudah
dipahami orang awam.
M ; Bagaimana ajaran Kanjeng Syeh
yang dianggap sesat ?
S ; Aku adalah penjelmaan dari Dzat
Luhur, yang memiliki
semangat, sakti, dan
kekal akan kematian.
Dengan hilangnya
dunia Gusti Allah
telah memberi
kekuasaan kepadaku
dapat manunggal
denganNya, dapat
langgeng mengembara
melebihi kecepatan
peluru. Bukannya akal,
bukannya nyawa,
bukan penghidupan
yang tanpa penjelasan
dari mana asalnya dan
kemana tujuannya.
M ; Apa hubungannya antara
kanjeng Syeh Siti
Jenar dengan Allah,
yang kau sebut
sebagai Dzat sejati ?
S ; Dzat yang sejati menguasai
wujud penampilanku.
Karena kehendakNya
maka wajarlah jika
aku tidak mendapat
kesulitan. Aku bisa
berkelana ke mana-
mana. Tidak merasa
haus dan lelah, tanpa
sakit dan lapar,
karena ilmu kelepasan
diri, tanpa suatu daya
kekuatan. Semua itu
disebabkan jiwaku
tiada bandingannya.
Secara lahiriah
memang tidak berbuat
sesuatu, tetapi tiba-
tiba sudah berada di
tempat lain. Gusti
Kang Murbeng Dumadi
(Allah) yang kuikuti,
kutaati siang malam,
yang kuturut segala
perintahNya. Tiada
menyembah Tuhan
lain, kecuali setia
terhadap suara hati
nuraniku. Allah
Mahasuci.
M ; Wahai Syeh jelaskan apa yang
di maksud bahwa
Allah itu Maha Suci ?
S ; Allah Mahasuci itu hanyalah
sebatas istilah saja.
Merupakan nama
saja. Sebenarnya hal
itu dapat disamakan
dengan bentuk
penampilanku. Jika
kalian melihatku,
maka tampak dari luar
sebagai warangka
(kerangka), sedangkan
di dalamnya adalah
kerisnya (intinya)
Hyang Agung, yang tak
ada bedanya dengan
kerangka. Tuhan itu
wujud yang tidak
dapat dilihat dengan
mata, tetapi
dilambangkan seperti
bintang yang bersinar
cemerlang. Sifat-
sifatNya berwujud
samar-samar bila
dilihat, warnanya
indah sekali seperti
cahaya.
M ; Di manakah Tuhan berada ?
kami membayangkan
Dia ada di langit ke 7
dan bersemayam di
atas singgasana
layaknya raja.
S ; Siti Jenar mendadak tertawa.
Setelah tertawanya
reda, ia berkata, “Itu
salah besar, itu
kebodohan.
Sesungguhnya Tuhan
tidak berada di langit
ketujuh dan tidak
bertahta di singgasana
atau arsy (Kursi). Bila
kalian membayangkan
demikian, maka hati
kalian sudah musyrik.
Berdosa besar. Karena
kalian menyamakan
Dia dengan raja atau
dengan penguasa.
M ; Kami jadi bingung, Kanjeng
Syekh, lantas Tuhan
itu ada di mana ?
S ; Kalau kalian bertanya demikian,
maka jawabnya
mudah. Gusti Allah
itu tidak kemana-
mana, tetapi ada di
mana-mana.
M ; Kami semakin tak mengerti.
Bisakah Kanjeng Syeh
memberi penjelasan
yang lebih gamblang ?
S ; Gusti Allah itu berada pada dzat
yang tempatnya tidak
jauh. Dia bersemayam
di dalam tubuh kita.
Tetapi hanya orang
yang khowash, orang
yang terpilih dapat
melihat. Tentunya
dengan mata batin.
Hanya mereka yang
dapat merasakannya.
M ; Apakah Allah itu berupa roh
atau sukma ?
S ; Bukan roh dan bukan sukma.
Allah adalah wujud
yang tak dapat dilihat
oleh mata, tetapi
dilambangkan seperti
bintang-bintang
bersinar cemerlang.
Sudah kukatakan tadi,
warnanya indah
sekali. Ia memiliki
dua puluh sifat
seperti; sifat ada, tak
berawal, tak berakhir,
berbeda dengan
barang-barang yang
baru, hidup sendiri
dan tidak memerlukan
bantuan dari sesuatu,
berkuasa,
berkehendak,
mendengar, melihat,
berilmu, hidup dan
berbicara. Sifat Gusti
Allah yang duapuluh
itu terkumpul menjadi
satu wujud mutlak
yang disebut dengan
Dzat. Sifat duapuluh
itu juga menjelma
pada diriku. Karena itu
aku yakin tidak akan
mengalami sakit dan
sehat, punya budi
kebenaran,
kesempurnaan,
kebaikan dan
keramahan. Roh ku
memiliki sifat
duapuluh itu,
sedangkan ragaku
yang lahiriah memiliki
sifat nur Muhammad.
M ; Wahai Syekh, bukankah
Muhammad SAW itu
seorang nabi. Apakah
Syekh mengaku
sebagai Nabi ?
Sedangkan dikatakan
bahwa setelah nabi
Muhammad, di dunia
ini tidak ada kenabian
lagi ?
S ; Jangan salah menafsirkan kata-
kataku. Jika salah,
maka kau akan sesat
dan timbul fitnah.
Tentu saja memfitnah
diriku. Begini, bahwa
rohku adalah roh Ilahi.
Karena aku pun
memiliki sifat
duapuluh. Sedangkan
badan wadag ku,
jasadku ini, adalah
jasad Muhammad.
Dari segi lahiriah
Muhammad adalah
manusia. Namun
manusia Muhammad
berbeda dengan orang
kebanyakan.
Muhammad memiliki
jasad yang kudus,
yang suci. Aku dan dia
sama-sama
merasakan kehidupan,
merasakan manfaat
panca indera. Dan
panca indra itu
hanyalah meminjam.
Jika sudah diminta
kembali oleh
Pemiliknya akan
berubah menjadi tanah
yang busuk, berbau,
hancur dan najis. Nabi
atau wali, jika
sesudah kematian
jasadnya menjadi tak
bermanfaat. Bahkan
berbau, kotor, najis,
busuk dan hancur.
Warangka jika sudah
ditinggalkan kerisnya
maka tiada guna.
M ; Jika seseorang sudah mati,
berarti selesai sudah
kehidupannya ?
S ; Siapa bilang begitu ? Tidak !
meskipun jasadnya
mati, tetapi
sebenarnya ia tidaklah
mati. Karena itu,
kalian semua harus
mengerti bahwa dunia
ini sesungguhnya
bukanlah kehidupan.
Buktinya ada mati. Di
dunia ini, kehidupan
disebut kematian.
Coba rasakan ! Aku
mengajarkan kepada
kalian untuk tidak
menyintai dunia ini
dan tidak terpesona
terhadap
keindahannya. Carilah
kebenaran dan
kebahagiaan sejati
demi kehidupan
mendatang, kehidupan
setelah kematian.
Kalian akan berarti
jika telah menemui
kematian dan hidup
sesudah itu. Engkau
harus memilih hidup
yang tak bisa mati.
Dan hidup yang tak
bisa mati itu hanya
kalian rasakan setelah
nyawa terlepas dari
badan. Kehidupan itu
akan dapat dirasakan
dengan tanpa
gangguan seperti
sekarang ini.
Ketahuilah, hidup
yang sesungguhnya
adalah setelah nyawa
lenyap dari badan.
M ; Agar dapat meraih kehidupan
dalam kemuliaan
sejati kelak, dalam
kehidupan di dunia ini
dibutuhkan kebenaran
dan kebahagian sejati.
Bagaimanakah cara
mendapatkannya
Kanjeng Syekh ?
S ; Jiwa manusia adalah suara hati
nurani. suara hati
nurani merupakan
ungkapan Dzat Allah
yang harus ditaati
perintahnya. Maka
ikutilah hati nuranimu.
M ; Bagaimana caranya meyakinkan
bahwa suatu bisikan
adalah suara hati
nurani yang
sesungguhnya ?
S ; Kalian harus cermat, karena hati
nurani berbeda dengan
akal budi, jiwa itu
milik Allah,
sedangkan akal milik
manusia. Akal
bersifat manusiawi,
karena itu kadang-
kadang akal tak
mampu menemukan
keajaiban Allah.
Kehendak, angan-
angan, ingatan,
merupakan suatu akal
yang tak kebal atas
kegilaan. Suatu ketika
akal bisa menjadi
bingung sehingga
membuat seseorang
lupa diri. Akal
seringkali tidak jujur.
Siang malam
membuat kepalsuan
demi memakmurkan
kepentingan pribadi.
M ; Bukankah manusia menjadi
lebih mulia jika
dibandingkan dengan
makhluk lainnya,
karena manusia diberi
akal oleh Allah ?
S ; Ya, itulah yang membedakan.
Tapi jangan lupa
bahwa akal seringkali
tidak jujur. Sering
bersifat dengki, suka
memaksa, melanggar
aturan, jahat, suka
disanjung-sanjung,
sombong, yang
ahirnya membuat
manusia justru tidak
berharga samasekali.
Lebih hina dari
makhluk lainnya.
M ; Jadi kita harus menggunakan
akal sesuai dengan
jiwa atau kehendak
Allah ?
S ; Ya, benar. Jika seseorang
mampu
mengendalikan
akalnya dengan ajaran
Allah, dengan
kebenaran, dan
dengan jiwa yang
bersih, maka ia
bermanfaat.
Menjadikan diri lebih
mulia.
M ; Apa yang menghalangi
seseorang sehingga
gagal dalam dalam
menempuh
manunggaling kawula-
Gusti ?
S ; Jangan mementingkan
kehidupan duniawi.
Sebab kehidupan
duniawi yang kalian
jalani penuh kotoran.
Akal kalian mudah
tercemar dengan
kotoran sifat dan
mudah dikuasai oleh
nafsu, sehingga
menghalangi kalian
untuk bisa menuju
pada tahap
manunggaling
kawula-Gusti .
M ; Di dunia ini ada yang cantik,
tampan dan gagah.
Bagaimana kedudukan
orang-orang tersebut
jika kelak telah
terlepas rohnya ?
S ; Kalian jangan menyintai dan
mengagumi bentuk
yang cantik, tampan
atau gagah. Sebab
sebenarnya badan
wadag (jasad) laksana
sangkar yang
mengurung jiwa.
Badan wadag
merupakan beban
yang memberatkan
dan menyakitkan roh
kalian.
M ; Wahai Syekh, benarkah sesudah
kematian ada surga
neraka ?
S ; Para wali memang mengajarkan
demikian. Inilah
ajaran yang justru
menurutku
menyesatkan karena
terlalu dangkal. Para
wali hanya
mengajarkan
“serabut” atau
kulitnya, tidak sampai
pada isinya; tidak
sampai pada hakikat
yang sebenarnya.
Para wali
mengajarkan bahwa
surga dan neraka
hanya dijumpai kelak
setelah kiamat.
Adanya di akherat.
Dan orang-orang
awam menelan
mentah-mentah
keterangan itu. Siksa
kubur hanya dijumpai
dan dirasakan badan
wadag ketika di tanam
di kuburan. Para wali
memang bertujuan
baik, tetapi diputus
sampai di situ.
Mereka enggan
menjelaskan lebih
dalam dan lebih
sampai pada makna
yang hakiki.
M ; Kalau menurut Syekh
bagaimana ?
S ; Begini, untuk menemui dan
merasakan surga dan
neraka maka
seseorang tidak harus
menunggu sampai
mati atau sampai
datangnya kiamat. Di
dunia ini saja kita
sudah dapat
merasakan surga dan
siksa neraka. Karena
sesungguhnya surga
dan neraka itu berada
di dalam jiwa kalian.
Berada di dalam jiwa
setiap manusia yang
bernafas. Jika jiwa
manusia telah bersih
dari gangguan hawa
nafsu dan dapat
menyatu dengan Gusti
Allah, maka di dunia
ini ia akan merasakan
suatu kenikmatan
surga. Jika budi
kalian, misalnya
menolong orang
lemah, lalu hati
menjadi ikhlas dan
puas, maka itulah
yang disebut surga.
Sedangkan neraka,
perwujudannya adalah
jika hawa nafsu telah
menguasai diri
seseorang. Kemudian
jiwanya meronta dan
merasa bersalah.
Maka dia tentu
tersiksa. Ia tidak bisa
tidur, gelisah
pikirannya, sedih dan
bermacam-macam
rasa tak enak. Itulah
yang dinamakan
neraka.
M ; Jadi surga dan neraka di
akherat tidak berlaku ?
maksud kami tidak
ada ?
S ; Surga dan neraka di hari kiamat,
di akherat kelak,
sudah diterangkan
dalam Al Quran. Itu
perkara gaib dan erat
kaitannya dengan
iman. Kalian harus
meyakininya.
M ; Untuk apa meyakini ? bukankah
jika di dunia berbudi
baik dan beriman
kepada Allah sudah
merasakan surga.
Sedangkan surga dan
neraka di akhirat
hanyalah bersifat
menakut-nakuti
manusia agar tidak
berbuat buruk ?
S ; Pendapatmu memang cerdas
dan kritis. Namun
kalian tidak usah
mempertanyakan,
apakah kelak di
akhirat ada surga dan
neraka. Itu urusan
Gusti Allah. Kalian
harus meyakini.
Karena meyakini hari
akhir merupakan
rukun iman. Sekali
lagi, untuk
mendapatkan surga
pun kalian tak perlu
menunggu datangnya
hari akhir. Meskipun
seseorang
sembahyang seribu
kali setiap hari, toh
akhirnya mati juga.
Walaupun badanmu
kau tutupi dengan kain
surban dan jubah,
namun akhirnya
menjadi debu juga.
Maka jiwalah yang
paling penting. Jika
keadaan jiwa seperti
Tuhan, maka surga
akan didapatkannya.
Kenikmatan luar biasa
akan dirasakan.
M ; Wahai Syeh, sesungguhnya
yang menjadi
pikiranku adalah
sebelum ada dunia
ini, apakah sudah ada
dunia lainnya. Atau
setelah kiamat,
apakah Tuhan
membuat dunia baru
lagi seperti
sekarang ?
S ; Sebelum dunia ada, apakah ada
dunia lain, itu hanya
Allah yang tahu.
Tetapi sekarang kita
berada di dunia ini
menempati ruang dan
waktu. Dunia ini
asalnya adalah baru.
Kemudian mengalami
kerusakan dan kelak
akhirnya menjadi
hancur. Lenyap tak
berharga. Setelah
kiamat, apakah Tuhan
membuat dunia baru
untuk keduakalinya ?
Tidak !
M ; Wahai Syekh, kalau begitu dunia
erat kaitannya dengan
raga kita, sedangkan
jiwa erat kaitannya
dengan alam akhirat ?
S ; Benar, dunia itu erat kaitannya
dengan raga. Raga
mempunyai sifat
seperti alam semesta,
yang semula baru
kemudian rusak.
Sedangkan jiwa tidak
akan mengenal
kerusakan karena jiwa
merupakan
penjelmaan Dzat
Allah. Ketahuilah
bahwa raga adalah
barang pinjaman yang
suatu saat akan
diminta oleh
Pemiliknya.
Ketahuilah wahai
murid-muridku. Raga
ini sesungguhnya
sangkar yang
membelenggu dan
menyulitkan jiwa.
Agar jiwa menjadi
bebas, maka suatu
saat kelak, kalian
akan kuajarai
bagaimana cara
melepas jiwa dari
raga. Ilmu melepas
jiwa artinya bahwa
kematian adalah titik
awal kehidupan yang
sebenarnya. Jika
seseorang raganya
mati, maka jiwanya
menjadi merdeka,
bebas dan tidak
terkungkung lagi.
Sebab raga
berhubungan erat
dengan alam semesta.
Sedangkan jiwa
berhubungan erat
dengan Dzat Tuhan.
selamanya jiwa tak
akan bisa mati atau
rusak.
M ; Apakah yang dimaksud jalan
kehidupan, wahai
Syekh ?
S ; Jalan kehidupan adalah jalan
menuju kepada hidup
yang sebenar-
benarnya, setelah
engkau mengalami
kematian. Jika
seorang bayi lahir,
maka bukanlah awal
kehidupan, namun
merupakan awal
“kehidupan palsu”
seperti yang kalian
rasakan saat ini.
Inilah yang
sesungguhnya
kematian sejati.
M ; Jika demikian badan ini tidak
bisa merasakan
kehidupan yang
sebenar-benarnya ?
S ; Ya, tidak bisa. Kehidupan sejati
tidak dapat dirasakan
oleh raga, karena jika
raga mati akan tetapi
dapat dirasakan oleh
jiwa. Membusuk
menjadi tanah.
M ; Bagaimana jika sekarang ini
seseorang berbuat
dosa. Apakah jiwanya
ikut
bertanggungjawab.
Sedangkan yang
melakukan dosanya
adalah raga.
S ; Tetap ikut bertanggungjawab,
karena jiwa yang
menyatu ke dalam
raga tidak bisa
mencegah hawa
nafsunya serta akal
yang suka berbuat
buruk.
M ; Maaf saya belum paham Syekh.
S ; Ketahuilah, setiap orang yang
lahir di dunia ini maka
jiwanya menyatu
dengan akal. Selain
akal dalam diri
manusia juga ada
hawa nafsu. Ketika
seseorang berbuat
buruk, berarti raganya
didorong dan
dipengaruhi oleh hawa
nafsu dan akalnya.
Akal dan nafsu
memang suka berbuat
buruk. Apabila jiwa
mencegah (melalui
hati nurani), maka
raga tidak akan
berbuat buruk. Akan
tetapi jika jiwa
membiarkannya, maka
raga tetap
melakukannya.
Karena itu
bagaimanapun juga
jiwalah yang akan
mempertanggungjawa
bkan perbuatan baik
dan buruk raganya.
M ; Tadi Syekh mengatakan jiwa
adalah penjelmaan
dzat Tuhan. Mengapa
kadang-kadang jiwa
mau mencegah dan
kadang
membiarkannya ?
S ; Perlu kalian semua ingat, bahwa
di dalam raga ini
terdapat nafsu-nafsu.
Jika nafsu kuat
menguasai, maka jiwa
menjadi terbelenggu.
Karena itulah
mengapa aku katakan
bahwa kehidupan
sekarang ini adalah
kematian. Sedangkan
setelah ajal
merupakan awal
kehidupan. Sesudah
kematian maka
seseorang akan
mencapai kebebasan
jiwanya.
Ajaran Syekh Siti Jenar
memang agak beda dengan ajaran
para wali sanga. Siti Jenar
mengajarkan bahwa Tuhan adalah Zat
yang mendasari adanya manusia,
hewan, tumbuhan dan segala yang
ada. Keberadaan segala di dunia ini
tergantung pada adanya Zat. Tanpa
ada Zat Yang Mahakuasa, maka
mustahil sesuatu yang wujud itu ada.
Ajaran ini tidak pernah
disampaikan oleh para Wali Sanga.
Mereka menyadari bahwa umatnya
masih terlalu awam terhadap Islam,
sehingga memberi materi yang ringan
dan praktis saja.

Surga neraka tidak kekal

Assalamualykum.wr.wb.
Berawal dr diskusi ringan di fb
seputar buku ''Ternyata akhirat tidak
kekal''. Akhirnya sy mencoba
mengulas sedikit tentang isi buku
tsb berikut sanggahannya. Tentunya
akan saya kemukakan pendapat-
pendapat dari para ulama tafsir yang
jelas kompeten di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻓَﺄَﻣَّﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺷَﻘُﻮﺍ ﻓَﻔِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻟَﻬُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺯَﻓِﻴﺮٌ ﻭَﺷَﻬِﻴﻖٌ
(106) ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎﺩَﺍﻣَﺖِ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ
ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﺇِﻥَّ ﺭَﺑَّﻚَ ﻓَﻌَّﺎﻝٌ ﻟِﻤَﺎ ﻳُﺮِﻳﺪُ (107) ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺳُﻌِﺪُﻭﺍ ﻓَﻔِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺩَﺍﻣَﺖِ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ
ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﻣَﺎ ﺩَﺍﻣَﺘِﺎﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ ﺭَﺑُّﻚَ ﻋَﻄَﺎﺀً
ﻏَﻴْﺮَ ﻣَﺠْﺬُﻭﺫٍ 108) )
“ Adapun orang-orang yang celaka,
maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan
dan menarik nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya
selama ada langit dan bumi, kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang
lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pelaksana terhadap apa yang Dia
kehendaki. Adapun orang-orang
yang berbahagia, maka tempatnya di
dalam syurga, mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan
bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain); sebagai
karunia yang tiada putus-
putusnya .” (QS. Huud: 106-108)
Jika kita melihat ayat di atas,
seakan-akan ada yang ganjil. Allah
mengisyaratkan surga dan neraka itu
ada selama bumi dan langit itu ada.
Dari sini bisa diyakini bahwa surga
dan neraka itu tidak kekal. Ayat
inilah yang menjadi dasar keyakinan
Ir. Agus Mustofa (Penulis Buku
Tasawuf Modern) dalam bukunya “
Ternyata Akhirat Tidak Kekal ” [1] .
Berikut kami cuplik sedikit
perkataan beliau dalam buku
tersebut setelah beliau
membawakan surat Huud ayat
106-108:
“Ayat di atas bercerita tentang
keadaan penduduk neraka dan
penduduk surga. Dikatakan
oleh Allah, bahwa mereka itu
akan kekal di dalam surga atau
neraka selama ada langit dan
bumi.
Informasi ini, sungguh sangat
menggelitik logika kita. Kenapa
demikian? Sebab ternyata
kekekalan surga dan neraka itu
–menurut ayat ini- tergantung
pada kondisi lainnya, yaitu
keberadaan langit dan bumi
alias alam semesta.
Dengan kata lain, akhirat itu
akan kekal jika langit dan bumi
atau alam semesta ini juga
kekal.
Sehingga, kalau suatu ketika
alam semesta ini mengalami
kehancuran, maka alam akhirat
juga bakal mengalami hal yang
sama, kehancuran.
Tentu, hal ini membuat kita
agak shock. Sebab ini telah
menggoyang apa yang sudah
kita pahami selama ini. Bahwa
yang namanya akhirat itu
adalah alam baka. Alam yang
kekal abadi, dan tidak akan
pernah mengalami kiamat lagi.
Dan itu telah dikatakan
berulang-ulang dalam Al
Qur’an.
Akan tetapi, apakah kita tidak
percaya kepada firman Allah di
atas, bahwa Surga dan Neraka
itu kekalnya adalah sekekal
langit dan bumi? Tentu saja,
kita juga nggak berani untuk
tidak percaya, sebab kalimat-
kalimat di atas
demikiangamblangnya:
Khaalidiina fiiha maadaamatis
samaawaati wal ardhi ...
(kekal di dalamnya selama ada
langit dan bumi ...) ” (hal. 234)
Demikian sedikit nukilan dari
perkataan beliau, yang
kesimpulannya sesuai judul bukunya
yaitu akhirat itu tidaklah kekal. Kami
sangat tergelitik sekali ingin
menyanggah pernyataan beliau di
atas dengan merujuk pada pakar
tafsir terkemuka.
Yang tentunya ilmu ulama tafsir
sudah pasti lebih terpercaya.
Semoga Allah memudahkan untuk
menyelesaikan tulisan ini karena
ingin mengharapkan wajah-Nya
yang mulia.
3 Hal yang Mesti Diyakini Mengenai
Surga dan Neraka
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Al Hafizh Al Hakami rahimahullah ,
keyakinan terhadap surga dan
neraka yang mesti diyakini adalah 3
hal.
*. Beliau sebut dalam bait syairnya,
ﻭﺍﻟﻨَّﺎﺭُ ﻭَﺍﻟﺠَﻨَّﺔُ ﺣَﻖٌّ ﻭَﻫُﻤَﺎ ... ﻣَﻮْﺟُﻮْﺩَﺗَﺎﻥِ ﻻَ ﻓَﻨَﺎﺀَ ﻟَﻬُﻤَﺎ
“ Neraka dan surga adalah benar
adanya. Keduanya telah ada saat ini.
Dan keduanya tidaklah fana. ”
Berikut sedikit uraiannya. [2]
*. Pertama :
Surga dan neraka itu benar adanya,
tidak ada keraguan sedikit pun
tentangnya.
Di antara dalilnya,
ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ
(131) ﻭَﺃَﻃِﻴﻌُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗُﺮْﺣَﻤُﻮﻥَ
(132) ﻭَﺳَﺎﺭِﻋُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻐْﻔِﺮَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻭَﺟَﻨَّﺔٍ
ﻋَﺮْﺿُﻬَﺎ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ
133) )
“ Dan peliharalah dirimu dari
api neraka , yang disediakan
untuk orang-orang yang kafir.
Dan taatilah Allah dan Rasul,
supaya kamu diberi rahmat.
Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang
telah disediakan untuk orang-
orang yang bertakwa. ” (QS. Ali
Imron: 131-133)
*. Kedua : Surga dan neraka sudah
ada saat ini.
Tentang surga, Allah Ta’ala
berfirman,
ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ
“ Yang telah disediakan untuk
orang-orang yang bertakwa.
” (QS. Ali Imron: 133)
*. Tentang neraka, Allah Ta’ala
berfirman,
ﺃُﻋِﺪَّﺕْ ﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ
“ Yang telah disediakan untuk
orang-orang kafir. ” (QS. Ali
Imron: 131).
Jika dikatakan “telah disediakan”,
berarti keduanya telah ada.
Dari Imron bin Hushain, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺍﻃَّﻠَﻌْﺖُ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺃَﻫْﻠِﻬَﺎ ﺍﻟْﻔُﻘَﺮَﺍﺀَ ، ﻭَﺍﻃَّﻠَﻌْﺖُ
ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻓَﺮَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺃَﻫْﻠِﻬَﺎ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ
“ Aku pernah melihat surga, lalu aku
melihat bahwa kebanyakan
penghuninya adalah orang-orang
miskin. Aku pun pernah melihat
neraka, lalu aku melihat kebanyakan
penghuninya adalah para
wanita .” [3]
Dari Ibnu ‘Abbas, Rofi’ bin Khudaij,
‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺍﻟْﺤُﻤَّﻰ ﻣِﻦْ ﻓَﻴْﺢِ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ، ﻓَﺄَﺑْﺮِﺩُﻭﻫَﺎ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﺀِ
“ Sakit demam berasal dari
panasnya jahannam. Oleh
karenanya, dinginkanlah demam
tersebut dengan air. ” [4]
*. Ketiga :
Surga dan neraka itu kekal karena
Allah yang menghendaki keduanya
untuk kekal. Keduanya tidaklah fana.
Banyak sekali dalil yang
membicarakan hal ini, berikut kami
sebutkan sebagiannya.
Tentang surga, Allah Ta’ala
berfirman,
ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﺑَﺪًﺍ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟْﻔَﻮْﺯُ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢُ
“ Mereka kekal di dalamnya . Itulah
kemenangan yang besar. ” (QS. At
Taubah: 100)
Tentang neraka, Allah Ta’ala
berfirman,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﻭَﻇَﻠَﻤُﻮﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦِ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻴَﻐْﻔِﺮَ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﻟَﺎ
ﻟِﻴَﻬْﺪِﻳَﻬُﻢْ ﻃَﺮِﻳﻘًﺎ , ﺇِﻟَّﺎ ﻃَﺮِﻳﻖَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺃَﺑَﺪًﺍ
“ Sesungguhnya orang-orang yang
kafir dan melakukan kezaliman,
Allah sekali-kali tidak akan
mengampuni (dosa) mereka dan
tidak (pula)akan menunjukkan jalan
kepada mereka, kecuali jalan ke
neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya .” (QS.
An Nisa’: 168-169)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺩَﺧَﻞَ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ، ﻭَ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﺛُﻢَّ
ﻳَﻘُﻮﻡُ ﻣُﺆَﺫِّﻥٌ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﻳَﺎ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻻَ ﻣَﻮْﺕَ ، ﻭَﻳَﺎ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
ﻻَ ﻣَﻮْﺕَ، ﺧُﻠُﻮﺩٌ
“ Jika penduduk surga telah
memasuki surga dan penduduk
neraka telah memasuki neraka,
kemudian seseorang akan meneriaki
di antara mereka, “Wahai penduduk
neraka, tidak ada lagikematian untuk
kalian . Wahai penduduk surga, tidak
ada lagi kematian untuk kalian.
Kalian akan kekal di dalamnya . ” [5]
Awal Sanggahan dari Mustofa Bisri
Buku “ Ternyata Akhirat Tidak Kekal
” sebenarnya sudah dikritisi lebih
terlebih dulu oleh A. Mustofa Bisri.
Berikut pemaparan beliau ketika
memberikan pengantar untuk buku
tersebut.
“Yang paling menarik tentu
kesimpulan Agus Mustofa
tentang ketidak-kekalan
Akhirat, yang karenanya
kemudian menjuduli bukunya
dengan “ Ternyata Akhirat
Tidak Kekal ” ini .
Kesimpulannya itu antara lain
didasarkan pada Q.S. 11 Hud:
107 dan 108, di mana -menurut
pemahaman Agus- kekekalan
mereka yang berbahagia di
sorga maupun celaka di neraka
digantungkan “kepada kondisi
lainnya, yaitu keberadaan
langit dan bumi alias alam
semesta”.
Dengan kata lain, paparnya,
“Akhirat itu akan kekal jika
langit dan bumi atau alam
semesta ini juga kekal.
Sehingga kalau suatu ketika
alam semesta ini mengalami
kehancuran, maka alam akhirat
juga bakal mengalami hal yang
sama, kehancuran” (hal. 234).
Pendapat ini diperkuat dengan
kutipan Q.S. 28: Al Qashash:
88,
ﻛُﻞُّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻫَﺎﻟِﻚٌ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﺟْﻬَﻪُ
“Tiap-tiap sesuatu itu pasti
binasa kecuali ‘Wajah-Nya’”
Kesimpulan dan pendapat itu
terjadi karena Agus Mustofa
tidak mempertimbangkan atau
mengabaikan tafsir-tafsir yang
ada, khususnya mengenai
kalimat:
ﻣَﺎ ﺩَﺍﻣَﺖِ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ
Misalnya, tafsiran Ahli Tafsir
yang menyatakanbahwa yang
dimaksud “langit dan bumi”
adalah langit dan bumi yang
lain, berdasarkan QS. 14: 48
ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﺒَﺪَّﻝُ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ
“ (Yaitu) pada hari (ketika)
bumi diganti dengan bumi yang
lain dan (demikian pula)
langit.” ... [6]
Demikian sebagian komentar dari
Bapak Mustofa Bisri yang mengkritik
pendapat kontroversial dari Agus
Mustofa. Intinya, pendapat yang
diutarakan oleh Agus Mustofa
berseberangan dengan pendapat ahli
tafsir dan para ulama yang tentu
lebih memahami ayat tersebut.
Mari kita simak penjelasan
selanjutnya.
Merujuk Tafsiran Ulama
*. Pertama :
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin
Katsir bin Gholib Al Amili (Abu Ja’far
Ath Thobari)
Mengenai ayat,
ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺩَﺍﻣَﺖِ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ
“ Mereka kekal di dalamnya selama
ada langit dan bumi ”, Ibnu Jarir Ath
Thobari rahimahullah mengatakan,
“Orang Arab biasanya jika ingin
mensifatkan sesuatu itu kekal
selamanya, maka mereka akan
mengungkapkan dengan,
ﻫﺬﺍ ﺩﺍﺋﻢ ﺩﻭﺍﻡ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ
“Ini kekal selama langit dan bumi
ada.” Namun maksud ungkapan ini
adalah kekal selamanya . [7]
*. Kedua : Abul Fida’ Isma’il bin
‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad
Dimasyqi
Selain membawakan perkataan Ibnu
Jarir Ath Thobari, Ibnu Katsir
membawakan penafsiran lain. Beliau
rahimahullah mengatakan, “Boleh
jadi dipahami bahwa maksud ayat “
selama langit dan bumi itu ada ”
adalah jenis langit dan bumi
(maksudnya: langit dan bumi yang
beda dengan saat ini, pen). Karena
sudah pasti alam akhirat juga ada
langit dan bumi (namun berbeda
dengan saat ini, pen).
Buktinya adalah firman Allah Ta’ala ,
ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﺒَﺪَّﻝُ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit .” (QS.
Ibrahim: 48)
Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri
menjelaskan mengenai firman Allah,
ﺧَﺎﻟِﺪِﻳﻦَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺩَﺍﻣَﺖِ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ
“ Mereka kekal di dalamnya selama
ada langit dan bumi ”, maksudnya
adalah Allah mengganti langit
berbeda dengan langit yang ada saat
ini. Begitu pula Allah mengganti
bumi berbeda dengan bumi yang ada
saat ini. Langit dan bumi (yang
berbeda dengan saat ini tadi, pen)
pun akan terus ada.”
*. Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa
Sufyan bin Husain menyebutkan dari
Al Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu
‘Abbas, beliau mengatakan mengenai
firman Allah (yang artinya), “ Mereka
kekal di dalamnya selama ada langit
dan bumi, ” yaitu setiap surga itu
memiliki langit dan bumi.
‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
menafsirkan, “Yaitu selama bumi itu
menjadi bumi (yang berbeda dengan
saat ini, pen) dan langit menjadi
langit (yang berbeda dengan saat ini,
pen).” –Demikian penjelasan Ibnu
Katsir rahimahullah mengenai surat
Huud ayat 107. [8]
*. Ketiga : Abu Muhammad Al Husain
bin Mas’ud AlBaghowi
Al Baghowi menyatakan yang hampir
sama dengan Ibnu Jarir Ath Thobari
dan Ibnu Katsir. Al Baghowi
mengatakan, “Mengenai ayat (yang
artinya), “ Mereka kekal di dalamnya
” yaitu terusberada tinggal di
dalamnya. Sedangkan ayat (yang
artinya), “ Selama langit dan bumi itu
ad a”,sebagaimana dikatakan oleh
Adh Dhohak, “Selama langit dan
bumi dari surga dan neraka itu ada.
Karena segala sesuatu yang berada
di atasmu dan menaungimu itulah
langit. Sedangkan segala sesuatu
sebagai tempat engkau berpijak
itulah bumi.
Begitu pula para pakar tafsir
menjelaskan bahwa ungkapan dalam
ayat tersebut dimaksudkan untuk
menunjukkan kekalnya sesuatu.
Inilah ungkapan yang biasa
disebutkan oleh orang Arab. Mereka
biasa mengatakan, “Saya tidak akan
mendatangimu selama langit dan
bumi itu ada”. Atau mereka katakan,
“... selama bergantinya malam dan
siang”. Mereka maksudkan ini
semua untuk mengungkapkan “
selamanya ”.” [9]
*. Keempat :
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
Asy Syaukani
Tentang ayat (yang artinya), “Selama
langit dan bumi itu ada,” Asy
Syaukani menukil perkataan Ibnu
‘Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu
Abi Hatim, beliau mengatakan
maksud ayat tadi, “Setiap surga
memiliki langit dan bumi
tersendiri.” [10]
*. Kelima : Mahmud bin ‘Amr bin
Ahmad Az Zamakhsyari
Az Zamakhsyari menyatakan
penafsiran yang sama dengan Ibnu
Jarir dan Ibnu Katsir. Jadi, makna
ayat (yang artinya), “Selama langit
dan bumi itu ada”, maksudnya: [1]
Yang dimaksud adalah langit dan
bumi di akhirat, keduanya itu abadi
dan makhluk yang kekal, [2]
ungkapan orang Arab yang ingin
menyatakan sesuai itu kekal dan
tidak ada ujung akhirnya.
Untuk maksud pertama ini, beliau
membawakan dua ayat bahwa di
akhirat itu ada langit dan bumi
tersendiri.
Ayat pertama, Allah Ta’ala
berfirman,
ﻳَﻮْﻡَ ﺗُﺒَﺪَّﻝُ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit .” (QS.
Ibrahim: 48)
Ayat kedua, Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﺃَﻭْﺭَﺛَﻨَﺎ ﺍﻷﺭﺽ ﻧَﺘَﺒَﻮَّﺃُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﺣَﻴْﺚُ ﻧَﺸَﺎﺀ
“ Dan telah (memberi) kepada kami
bumi (tempat) ini sedang kami
(diperkenankan) menempati tempat
dalam surga di mana saja yang kami
kehendaki.” (QS. Az Zumar: 74) [11]
*. Keenam :
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengungkapkan, “Sekelompok
ulama menjelaskan mengenai firman
Allah (yang artinya), “Selama langit
dan bumi itu ada”, yaitu yang
dimaksud adalah langit dari surga
dan bumi dari surga. Sebagaimana
disebutkan dalam Shahihain , Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“ Jika kalian ingin meminta
pada Allah, mintalah
surgaFirdaus. Firdaus adalah
surga yang paling tinggi dan
merupakan surga pilihan.
Sedangkan atap (langit) dari
surga tersebut adalah ‘Arsy
Allah ”.
Begitu pula sebagian ulama ketika
menjelaskan mengenai firman Allah,
ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺘَﺒْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺰَّﺑُﻮﺭِ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻳَﺮِﺛُﻬَﺎ
ﻋِﺒَﺎﺩِﻱَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤُﻮﻥَ
“ Dan sungguh telah Kami tulis di
dalam Zabur sesudah (Kami tulis
dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya
bumi ini dipusakai hamba-hambaKu
yang saleh .” (QS. Al Anbiya’: 105).
Yang dimaksudkan di sini adalah
bumi di surga. Oleh karena itu tidak
bertentangan antara yang
menyatakan langit akan terlipat
(yaitu langit dunia, pen). Sedangkan
langit yang tetap terus ada adalah
langit (atap) dari surga. Oleh karena
itu, yang mesti kita pahami adalah
segala sesuatu yang berada di atas,
maka ia disebut secara bahasa
dengan langit ( as samaa’ ).
Sebagaimana pula hujan disebut
dengan samaa’ (langit). Dan atap
juga disebut dengan
samaa’ (langit).” [12]
Ringkasnya , mengenai surat Huud
ayat 107 dan 108, ada dua
penafsiran:
*. Pertama : Yang dimaksud adalah
langit dan bumiyang ada di akhirat
nanti.
*. Kedua : Penyebutan “selama langit
dan bumi itu ada” adalah ungkapan
orang Arab yang ingin menyebutkan
sesuatu itu kekal abadi.
Bandingkan tafsiran di atas ini
dengan pemahamann penulis buku
tersebut.(Kekeliruan Penulis Buku
“Ternyata Akhirat Tidak Kekal”)
Dari penjelasan ulama di atas,
terlihat jelas bahwa surat Huud ayat
16-108 bukan memaksudkan akhirat
itu tidak kekal sebagaimana yang
disalah pahami oleh Agus Mustofa.
Sudah jelaslah kekeliruan yang
beliau utarakan dalam buku tersebut.
Intinya, kekeliruan yang beliau
lakukan disebabkan beberapa hal:
Pertama:
Hanya bergantung pada logika yang
dangkal
Setelah beranjak dari pemahaman
keliru terhadap surat Huud ayat 107
dan 108, beliau pun mengemukakan
argumen sains.
Namun ini sudah beranjak dari
pemikiran keliru terhadap ayat tadi
dan dibangun di atas logika yang
fasid (rusak). Yang namanya logika
jika bertentangandengan dalil, maka
dalil yang mesti didahulukan karena
logika tentu saja terbatas.
Coba pahami baik-baik perkataan
seorang alim, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berikut ini.
“ Bahkan akal adalah syarat
untuk mengilmui sesuatu dan
untuk beramal dengan baik dan
sempurna. Akal pun akan
menyempurnakan ilmu dan
amal. Akan tetapi, akal tidaklah
bisa berdiri sendiri . Akal bisa
berfungsi jika dia memiliki
instink dan kekuatan
sebagaimana penglihatan mata
bisa berfungsi jika ada cahaya.
Apabila akal mendapati cahaya
iman dan Al Qur’an barulah
akal akan seperti mata yang
mendapatkan cahaya mentari.
Jika bersendirian tanpa
cahaya, akal tidak akan bisa
melihat atau mengetahui
sesuatu .” [13]
Intinya, logika bisa berjalan dan
berfungsi jika ditunjuki oleh dalil
syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan
As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal
tidak akan berfungsi sebagaimana
mestinya. Sedangkan tentang surga
dan neraka, betapa banyak ayat yang
menunjukkan kekalnya.
Pantaskah di sini akal mengalahkan
dalil Al Qur’an dan As Sunnah?
Logika barulah benar jika memang
tidak berseberangan dengan wahyu.
Kedua:
Pengarang buku ini tidak mau
merujuk pada ulama ulama tafsir.
Inilah salah satu kekeliruannya lagi.
Jarang sekali kami lihat dalam buku
beliau yang menukil perkataan
ulama atau mau merujuk pada
mereka dalam menafsirkan ayat.
Beliau kadang menafsirkannya
sendiri sehingga bisa salah fatal
semacam ini.
Maka benarlah apa yang dikatakan
oleh Umar bin 'Abdul 'Aziz,
ﻣَﻦْ ﻋَﺒَﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﺎ ﻳُﻔْﺴِﺪُﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣِﻤَّﺎ
ﻳُﺼْﻠِﺢُ
” Barangsiapa beribadah pada
Allah tanpa ilmu, maka
kerusakan yang ditimbulkan
lebih besar daripada perbaikan
yang dilakukan. ” [14]
Kita punya kewajiban jika tidak tahu
tentang masalah agama termasuk
pula dalam memahami ayat untuk
bertanya pada orang berilmu.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻓَﺎﺳْﺄَﻟُﻮﺍ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“ Maka tanyakanlah olehmu
kepada orang-orangyang
berilmu, jika kamu tiada
mengetahui .” (QS.An Nahl: 43
dan Al Anbiya’: 7).
Ingatlah, obat dari kebodohan adalah
dengan bertanya pada ahli ilmu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺷِﻔَﺎﺀُ ﺍﻟْﻌِﻰِّ ﺍﻟﺴُّﺆَﺍﻝُ
“ Obat dari kebodohan adalah
dengan bertanya. ” [15]
Ketika membawakan hadits ini, Ibnu
Qayyim Al Jauziyah mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebut kebodohan dengan
penyakit dan obatnya adalahdengan
bertanya pada para ulama (yang
berilmu).” [16]
Ketiga:
Mengikut ayat mutasyabih (yang
masih samar)
Sebelum menyebutkan pendapatnya
pada halaman 234, sebenarnya Ir.
Agus Mustofa sudah memaparkan
ayat-ayat yang menunjukkan
kekalnya surga dan neraka.
Bahkan beliau sendiri katakan di hal.
232 dari bukunya, “Dan masih
banyak lagi ayat tentang kekekalan
Surga, Neraka, atau Akhirat itu. Tak
kurang dari 110 ayat yang
menggambarkan, betapa akhirat,
surga dan neraka itu kekal.”
Namun ketika sampai pada hal. 234,
setelah membawakan surat Huud
ayat 106-108, beliau pun
mengatakan,
“Justru di sinilah kunci
pemahamannya. Pertama,
bahwa akhirat tersebut
sesungguhnya memang tidak
kekal . Akan tetapi,
ketidakkekalan itu bukan
berarti meringankan arti dari
informasi-informasi
sebelumnya yang mengatakan:
Khaalidiina fiiha... (kekal di
dalamnya ...). Dan di ayat
lainnya lagi seringkali
ditambahkan kata
‘abada’ (abadi, selama-
lamanya). Miliaran tahun!
Karena kekal yang
dimaksudkan tersebut memang
bukan kekal yang tidak
terbatas. Akhirat adalah
makhluk. Karena itu ia pasti
memiliki awal dan akhir.”
Demikian perkataan beliau.
Semula ia katakan bahwa 110 ayat
membicarakan kekekalan akhirat,
namun ketika bertemu dengan surat
Huud ayat 106-108, baru ia menjadi
bingung. Lalu akhirnya ia simpulkan
bahwa akhirat itu tidak kekal.
Bagaimana mungkin hanya
berpegang pada surat Huud lalu
mengalahkan 110 ayat yang
menyatakan kekekalan surga dan
neraka?!
Thoriqoh (metode) orang-orang yang
menyimpang memang seperti ini.
Kebiasaannya adalah selalu
mempertentangkan ayat yang
satudan lainnya. Atau kebiasaannya
adalah berpegang pada ayat yang
masih samar (baca: mutasyabih) dan
meninggalkan ayat-ayat yang sudah
jelas yaitu ayat muhkam.
Seharusnya sikap yang tepat ketika
seseorang menemukan ayat-ayat
yang samar dan sulit baginya untuk
memahaminya adalah ia pahami dan
membawa ayat tersebut kepada ayat
muhkam (yang sudah jelas
maknanya) . Bukan malah yang jadi
pegangan adalah ayat mutasyabih
yang masih samar.
Itulah yang diperintahkan oleh Allah
Ta’ala , ketika kita menemukan ayat
masih samar, bawalah ayat tersebut
kepada ayat yang sudah jelas
maknanya agar kita tidak tersesat.
Allah Ta’ala berfirman,
ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﻣِﻨْﻪُ ﺁَﻳَﺎﺕٌ ﻣُﺤْﻜَﻤَﺎﺕٌ
ﻫُﻦَّ ﺃُﻡُّ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺃُﺧَﺮُ ﻣُﺘَﺸَﺎﺑِﻬَﺎﺕٌ ﻓَﺄَﻣَّﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻓِﻲ
ﻗُﻠُﻮﺑِﻬِﻢْ ﺯَﻳْﻎٌ ﻓَﻴَﺘَّﺒِﻌُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﺗَﺸَﺎﺑَﻪَ ﻣِﻨْﻪُ ﺍﺑْﺘِﻐَﺎﺀَ ﺍﻟْﻔِﺘْﻨَﺔِ
ﻭَﺍﺑْﺘِﻐَﺎﺀَ ﺗَﺄْﻭِﻳﻠِﻪِ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﺗَﺄْﻭِﻳﻠَﻪُ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ
ﻭَﺍﻟﺮَّﺍﺳِﺨُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺁَﻣَﻨَّﺎ ﺑِﻪِ ﻛُﻞٌّ ﻣِﻦْ
ﻋِﻨْﺪِ ﺭَﺑِّﻨَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺬَّﻛَّﺮُ ﺇِﻟَّﺎ ﺃُﻭﻟُﻮ ﺍﻟْﺄَﻟْﺒَﺎﺏِ
“ Dia-lah yang menurunkan Al
Kitab (Al Quran) kepada kamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat, itulah
pokok-pokok isi Al qur'an dan
yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada
kesesatan, makamereka
mengikuti sebahagian ayat-
ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya,
padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. Dan orang-
orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada
ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." Dan
tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang
berakal .” (QS. Ali Imron: 7).
Ayat-ayat yang muhkam (yang sudah
jelas maknanya) dalam ayat ini
disebut dengan ummul kitaab (induk
kitab) . Artinya, ayat-ayat muhkam
inilah yang jadikan rujukan ketika
bertemu dengan ayat-ayat yang
masih samar bagi sebagian orang
(mutasyabihaat). [17] Namun
kecenderungan orang-orang yang
sesat adalah biasa mengikuti ayat
mutasyabih (yang masih samar).
Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan,
“Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada
kesesatan, yaitu keluar dari
kebenaran menuju pada
kebatilan, maka mereka
mengikuti ayat yang masih
mutasyabih (masih samar).
Mereka mengambil ayat
mutasyabih tersebut yang
mampu mereka selewengkan
sesuai maksud mereka yang
keliru dan dijadikan sebagai
pembela mereka karena makna
yang masih bisa
diselewengkan sesuka mereka.
Adapun ayat-ayat yang
muhkam (yang sudah jelas
maknanya), seperti itu tidak
dijadikan rujukan mereka.
Mereka tidak mau berpegang
pada ayat yang muhkam
karena itu bisa menyangkal
dan menjatuhkan pendapat
mereka sendiri. ” [18]
Penutup
Inilah beberapa kekeliruan dasar
penulis Agus Mustofa. Ditambah lagi
pemahaman beliau yang berbau
tasawuf dan filsafat, hal ini semakin
menambah kelamnya buku “Ternyata
Akhirat Tidak Kekal”.
Kami hanya mengingatkan,
waspadalah terhadap buku-buku dan
pemahaman beliau sebagaimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menasehati kita agar waspada
dengan orang-orang yang hanya mau
berpegang pada ayat mutasyabih
(yang masih samar) dan
meninggalkan jauh-jauh ayat
muhkam (yang sudah jelas
maknanya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ,
beliau mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
membaca surat Ali Imron ayat 7 di
atas, lalu ‘Aisyah mengatakan bahwa
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺘَّﺒِﻌُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﺗَﺸَﺎﺑَﻪَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺄُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ
ﺳَﻤَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﺎﺣْﺬَﺭُﻭﻫُﻢْ
“ Jika kalian melihat orang-orang
yang sering mengikuti ayat-ayat
yang mutasyabih (yang masih
samar), maka merekalah yang Allah
sebut(dalam surat Ali Imron ayat 7).
Oleh karenanya, Waspadalah
terhadap mereka . ” [19]
Semoga Allah memberi taufik dan
hidayah pada penulis buku tersebut.
Semoga kaum muslimin yang lain
dapat terhindar dari kekeliruan-
kekeliruannya. Hanya Allah yang
memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan
nikmat-Nya segala kebaikan
menjadi sempurna.

Minggu, 11 Agustus 2013

Sangkan paran

Tuhan adalah “Sangkan
Paraning Dumadi
Tuhan adalah “Sangkan Paraning
Dumadi”.
IA adalah sang Sangkan sekaligus
sang Paran, karena itu juga disebut
Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya
satu, tanpa kembaran, dalam bahasa
Jawa dikatakan Pangeran iku mung
sajuga, tan kinembari . Orang Jawa
biasa menyebut “Pangeran” artinya
raja, sama dengan pengertian “Ida
Ratu” di Bali.
Masyarakat tradisional sering
mengartikan “Pangeran” dengan
“kirata basa”. Katanya pangeran
berasal dari kata “pangengeran”,
yang artinya “tempat bernaung atau
berlindung”, yang di Bali disebut
“sweca”. Sedang wujudNYA tak
tergambarkan, karena pikiran tak
mampu mencapaiNYA dan kata kata
tak dapat menerangkanNYA.
Didefinisikan pun tidak mungkin,
sebab kata-kata hanyalah produk
pikiran hingga tak dapat digunakan
untuk menggambarkan
kebenaranNYA.
Karena itu orang Jawa menyebutnya
“tan kena kinaya ngapa” ( tak dapat
disepertikan). Artinya sama dengan
sebutan “Acintya” dalam ajaran
Hindu. Terhadap Tuhan, manusia
hanya bisa memberikan sebutan
sehubungan dengan perananNYA.
Karena itu kepada NYA diberikan
banyak sebutan, misalnya: Gusti
Kang Karya Jagad (Sang Pembuat
Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang
Pembuat Kehidupan), Gusti Kang
Murbeng Dumadi (Penentu nasib
semua mahluk) , Gusti Kang Maha
Agung (Tuhan Yang Maha Besar),
dan lain-lain.Sistem pemberian
banyak nama kepada Tuhan sesuai
perananNYA ini sama seperti dalam
ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah
Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu
satu tetapi para bijak menyebutNYA
dengan banyak nama”.
Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.
Tentang hubungan Tuhan dengan
ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan
bahwa Tuhan menyatu dengan
ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan
dan ciptaannya itu digambarkan
sebagai “curiga manjing warangka,
warangka manjing curiga”, seperti
keris masuk ke dalam sarungnya,
seperti sarung memasuki kerisnya.
Meski ciptaannya selalu berubah
atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak
terpengaruh oleh perubahan yang
terjadi pada ciptaanNYA.
Dalam kalimat puitis orang Jawa
mengatakan: Pangeran nganakake
geni manggon ing geni nanging ora
kobong dening geni, nganakake
banyu manggon ing banyu ora teles
dening banyu. Artinya, Tuhan
mengadakan api, berada dalam api,
namun tidak terbakar, mencipta air
bertempat di air tetapi tidak basah.
Sama dengan pengertian wyapi,
wyapaka dan nirwikara dalam
agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan
pun disimbolkan sebagai bunga
“teratai” atau “sekar tunjung”, yang
tidak pernah basah dan kotor meski
bertempat di air keruh. Ceritera
tentang Bima bertemu dengan
“Hanoman”, kera putih lambang
kesucian batin, dalam usahanya
mencari “tunjung biru” atau “teratai
biru’ adalah sehubungan dengan
pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan
dengan ciptaanNYA secara simbolis
juga dikatakan “kaya kodhok
ngemuli leng, kaya kodhok
kinemulan ing leng”, seperti katak
menyelimuti liangnya dan seperti
katak terselimuti liangnya.
Pengertiannya sama dengan istilah
immanen sekaligus transenden
dalam filsafat modern, yang dalam
Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada
padaKU dan AKU ada padaNYA”.
Dengan pengertian demikian maka
jarak antara Tuhan dan ciptaannya
pun menjadi tak terukur lagi.
Tentang hal ini orang Jawa
mengatakan: “adoh tanpa wangenan,
cedhak tanpa senggolan”, artinya
jauh tanpa batas, dekat namun tak
bersentuhan.
Dari keterangan di atas jelaslah
bahwa pada hakekatnya filsafat
Jawa adalah Hinduisme, yang
monotheisme pantheistis. Karena itu
pengertian Brahman Atman Aikyam,
atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga
dinyatakan dengan kata-kata “Gusti
lan kawula iku tunggal”. Di sini
pengertian Gusti adalah Tuhan yang
juga disebut Ingsun, sedang Kawula
adalah Atman yang juga disebut Sira,
hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun
secara tepat dijawakan dengan kata
kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau
adalah Aku”, yang artinya sama
dengan kata-kata “Atman itu
Brahman”.
Pemahaman yang demikian itu
tentunya memungkinkan terjadinya
salah tafsir, karena menganggap
manusia itu sama dengan Tuhan.
Untuk menghindari pendapat yang
demikian, orang Jawa dengan bijak
menepis dengan kata-kata “ya ngono
ning ora ngono”, yang artinya “ya
begitu tetapi tidak seperti itu”.
Mungkin sikap demikian inilah yang
menyebabkan sesekali muncul
anggapan bahwa pada dasarnya
orang Jawa penganut pantheisme
yang polytheistis, sebab pengertian
keberadaan Tuhan yang menyatu
dengan ciptaannya ditafsirkan
sebagai Tuhan berada di apa saja
dan siapa saja, hingga apa saja dan
siapa saja bisa diTuhankan.
Anggapan demikian tentulah salah,
sebab Brahman bukan Atman dan
Gusti bukan Kawula walau
keberadaan keduanya selalu
menyatu. Brahman adalah sumber
energi, sedang Atman cahayanya.
Kesatuan antara Krisna dan Arjuna
oleh para dalang wayang sering
digambarkan seperti “api dan
cahayanya”, yang dalam bahasa
Jawa “kaya geni lan urube”